Blokir Nomor, Tanda Kamu Sedang Dimanfaatkan
![]() |
Ilustrasi |
Dalam dunia digital yang serba cepat ini, memblokir nomor seseorang bukan lagi hal yang sulit. Tapi ketika tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang tetap berusaha berkomunikasi lewat jalur lain, seperti akun media sosial atau teman, di situlah mulai terlihat kejanggalan yang perlu disadari. Pemblokiran itu bukan lagi soal menjaga jarak sehat—melainkan pertanda kuat bahwa ada permainan emosi yang sedang berlangsung.
Bayangkan seorang pria yang tulus ada ketika dibutuhkan. Memberi perhatian, menemani wanita itu saat sedih, mengantar, mentraktir makan, bahkan bersedia menjadi "bahu" untuk bersandar di kala resah. Ia tidak pernah mengeluh, karena ia mengira semua itu akan berbuah menjadi cinta atau hubungan yang saling membahagiakan.
Namun seiring waktu, wanita itu mulai menunjukkan pola yang aneh. Ketika ia sedang butuh, ia datang—manis, lembut, dan seolah peduli. Tapi ketika si pria mulai meminta waktu untuk dirinya, atau berharap dibalas dengan perhatian yang sama, sang wanita perlahan menghilang. Ia tak membalas pesan, tak mengangkat telepon, bahkan memblokir nomor.
Yang membuat lebih menyakitkan, pemblokiran itu tidak berarti memutus hubungan. Ia tetap menghubungi si pria lewat akun lain, lewat teman, atau bahkan muncul tiba-tiba saat tahu sang pria ada di suatu tempat. Sikapnya seolah berkata, “Aku tidak mau kamu terlalu dekat, tapi aku juga tidak mau kamu pergi.” Ini bukan cinta, ini kontrol.
Seringkali, pria seperti ini tidak menyadari bahwa dirinya sedang dimanfaatkan. Ia berpikir, mungkin wanita itu sedang bingung, takut jatuh cinta, atau belum siap menjalin hubungan. Namun kenyataannya, si wanita hanya menikmati keuntungan dari kehadiran pria itu tanpa niat untuk membalas dengan perasaan yang setara.
Si wanita merasa nyaman, karena ada seseorang yang selalu siap menuruti keinginannya. Tak perlu usaha, tak perlu janji, cukup pura-pura perhatian sesekali, dan pria itu akan kembali. Dan ketika si pria mulai sadar, ia akan ‘dimatikan’ lewat pemblokiran—sebagai bentuk hukuman agar ia merasa bersalah dan kembali bersikap seperti dulu.
Yang lebih ironis, ketika si pria mencoba jujur menyampaikan perasaannya, si wanita malah menyebutnya “terlalu drama” atau “terlalu serius.” Padahal dialah yang menggiring hubungan ke arah ambigu. Memanfaatkan kebaikan pria sambil membangun jarak agar tetap bebas dari komitmen.
Situasi ini tidak hanya melelahkan secara emosional, tapi juga menghancurkan harga diri. Si pria akan mulai mempertanyakan nilainya sendiri, merasa bersalah padahal tidak berbuat salah. Ia akan terus bertahan dengan harapan bahwa cinta wanita itu akan tumbuh, padahal yang tumbuh hanyalah ekspektasi palsu.
Tindakan memblokir tapi tetap berkomunikasi adalah bentuk manipulasi emosional. Ini cara untuk mengontrol agar seseorang tetap merasa bersalah, tetap mengejar, tetap ‘berhutang’ perhatian, tanpa pernah diberi kejelasan hubungan. Ini bukan cinta yang membangun—melainkan permainan yang meruntuhkan.
Dan anehnya, banyak orang yang terjebak dalam siklus ini. Karena takut kehilangan, karena berharap cinta akan datang seiring waktu, atau karena tak ingin terlihat egois. Padahal dalam hubungan sehat, kedua belah pihak memberi dan menerima dengan kesadaran dan kejujuran.
Jika kamu merasa kamu selalu memberi, selalu memaklumi, dan tetap dijaga dalam jarak yang tidak jelas, kamu bukan pasangan—kamu sekadar sumber kenyamanan. Orang yang benar-benar mencintaimu tidak akan memblokirmu saat kamu jujur, tidak akan menghindar saat kamu butuh kepastian.
Cinta sejati tidak membuatmu ragu akan nilai dirimu. Cinta sejati tidak menggantungmu di ambang harapan. Dan cinta sejati tidak membiarkanmu merasa bodoh karena terus berharap. Maka jika kamu diblokir tapi tetap dihubungi, itu bukan cinta—itu taktik agar kamu tidak benar-benar pergi.
Sudah waktunya berkata cukup. Kamu boleh mencintai, tapi jangan lupa mencintai dirimu sendiri. Jangan korbankan harga dirimu demi seseorang yang hanya mencintaimu saat lapar, bosan, atau sedang butuh traktiran.
![]() |
Ilustrasi |
Lepaskan dia bukan karena benci, tapi karena kamu layak dicintai dengan utuh. Cinta yang nyata tidak pernah menyakitimu seperti ini. Dan jika seseorang memblokirmu tapi tetap ingin manfaat darimu, mungkin sudah saatnya kamu yang benar-benar memblokir—bukan hanya nomor, tapi juga harapan palsu yang kamu pelihara selama ini.