Perbandingan Absurd Antara Bawahan dan Atasan
![]() |
Ilustrasi. |
Dalam dunia kerja modern, relasi antara bawahan dan atasan sering kali diwarnai oleh perbedaan yang tidak hanya bersifat struktural, tapi juga kultural. Perbedaan ini kadang begitu mencolok, hingga menjadi bahan candaan pahit di ruang-ruang kantor, grup WhatsApp pegawai, dan status media sosial. Namun di balik kelucuan yang absurd, tersimpan kritik tajam terhadap sistem kerja yang belum sepenuhnya adil dan transparan.
Bawahan datang pagi-pagi, bahkan sebelum matahari terbit, karena takut dicap tidak disiplin. Sementara atasan datang siang dengan alasan “rapat penting” yang entah di mana dan dengan siapa. Ketika bawahan harus menempelkan jari ke mesin absen yang dingin, atasan cukup hadir dengan “absen kepercayaan”—yang tidak tercatat tapi dianggap sah.
Di ruang kerja, bawahan multitasking sambil menahan lapar, mengerjakan laporan, menjawab chat, dan mengurus hal-hal teknis yang tak pernah masuk dalam jobdesc. Sementara atasan bisa rapat sambil makan besar, lengkap dengan kopi, snack, dan kadang diselingi cerita liburan. Ironi ini bukan sekadar soal fasilitas, tapi soal persepsi: siapa yang dianggap sibuk, dan siapa yang dianggap remeh.
![]() |
Ilustrasi |
Bawahan menyusun laporan 20 halaman dengan data, grafik, dan analisis. Atasan membacanya sepintas, kadang hanya judulnya, lalu langsung memberi disposisi: “Tindak lanjuti.” Tidak jarang, laporan itu kembali ke bawahan dengan revisi yang tidak jelas, atau bahkan dibaca ulang oleh atasan lain yang juga hanya melihat halaman pertama.
Bawahan dilarang main HP saat jam kerja, bahkan untuk membuka e-mail atau mencari referensi. Tapi atasan bebas scroll TikTok, Instagram, atau YouTube dengan dalih “mencari inspirasi.” Ketika bawahan pulang cepat karena urusan keluarga, ia bisa dicap tidak loyal. Tapi jika atasan jarang di kantor, itu dianggap sebagai bentuk efisiensi dan manajemen waktu yang baik.
Yang paling absurd: bawahan dituntut untuk terus berinovasi, membuat ide baru, dan berpikir out of the box. Sementara atasan cukup berkata, “Kembangkan ide lama,” lalu minta hasilnya segera. Tidak jarang, ide bawahan yang segar justru diambil alih, dipresentasikan ulang oleh atasan, dan diberi label “inisiatif pimpinan.”
Perbedaan ini bukan sekadar lucu-lucuan. Ia mencerminkan ketimpangan budaya kerja yang sering tak disadari. Ketika struktur organisasi terlalu menekankan hierarki tanpa empati, maka yang muncul adalah sistem kerja yang tidak sehat: bawahan bekerja keras, atasan tampil meyakinkan. Bawahan belajar terus, atasan bicara terus. Bawahan diam karena takut, atasan diam karena tidak tahu.
Namun di balik semua itu, ada harapan. Bahwa dunia kerja bisa berubah. Bahwa jabatan bukan alasan untuk mengabaikan keadilan. Bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh posisi, tapi oleh cara ia memperlakukan sesama. Karena pada akhirnya, kantor bukan hanya tempat mencari gaji, tapi tempat belajar menjadi manusia yang lebih jujur, lebih adil, dan lebih sadar. Semoga bermanfaat.