Nama Ini Rahasia Makna, Akal Lembutkan Asa, Senyuman Akan Rasa Indah
![]() |
| Ilustrasi. |
Dia menarikku ke masa depan
dan menjauhkanku dari masa lalu.
Seolah esok adalah pintu terang
yang cukup didorong dengan percaya.
Namun ketika masa depan itu terurai,
petir menggelegar,
memecah ramai
yang kukira akan tenang.
Ia pergi—
melepas segalanya
tanpa suara,
tanpa sisa.
Seperti angin
yang sempat menghangatkan
lalu lupa
ke mana harus kembali.
Sesaat kubalas kata
dalam hening,
tiada jawaban
yang berdering.
Sunyi memanjang,
menjadi jarak
yang tak bisa dilangkahi
oleh penjelasan apa pun.
Raga terkulai,
lunglai menunggu harap
yang tak pernah berjanji.
Resah duduk di dadaku,
menghitung napas
yang ingin berkhianat
pada akal.
Namun aral terus menggerus,
menghunus ketidakpastian
ke dalam ruang
yang belum sempat sembuh.
Senyum itu
jatuh setengah,
tertunduk malu padaku,
menggantung
di antara ingin
dan ingat.
Ia tak memanggil,
hanya hadir—
dan justru di situlah
dadaku gaduh.
Ada hangat mengalir
pelan-pelan,
seperti api kecil
yang pura-pura jadi cahaya.
Kuberi jarak
agar ia tidak berubah
menjadi kebakaran.
Matanya seperti jendela
yang terbuka terlalu ramah.
Aku menutup tirai batinku
dengan tangan gemetar.
Aku tahu,
tidak semua yang membuat hangat
boleh kuletakkan
di dada.
Maka aku memungut diriku
dari lantai waktu,
menyatukan serpih-serpih niat
yang tercerai
oleh harap
yang terlalu cepat percaya.
Masa lalu memanggil,
namun aku tak menoleh.
Masa depan membisu,
namun aku tetap berjalan.
Resah kini bukan tamu,
ia menetap—
menjadi pagar
agar aku tak kembali
ke pintu
yang telah menutup dirinya sendiri.
Aku belajar:
tidak semua yang menuntun ke depan
ditakdirkan menemani.
Sebagian hanya ditugaskan
menunjukkan arah,
lalu pergi
sebelum aku lupa pulang.
Petir telah usai.
Langit tak runtuh.
Hanya sunyi
yang lebih jujur
dari seribu janji.
Dan di tengah sunyi itu
aku berdiri,
tidak berharap disambut,
tidak ingin dipahami.
Cukup tahu:
aku masih bernapas,
masih memilih,
masih utuh
meski pernah nyaris runtuh.
Jika kelak ada cahaya datang,
biarlah ia pelan—
tak perlu menarik,
tak perlu menjanjikan.
Aku telah belajar berjalan
tanpa dituntun,
dengan akal
yang melembutkan asa,
dan senyum
yang akhirnya kembali
menjadi milikku.
Karya : P.T.N
