Mengintegrasikan Profil Tendik Dalam Ekosistem Kampus
![]() |
| Ilustrasi. |
Dalam setiap lembaga pendidikan tinggi, dosen sering disebut sebagai ujung tombak akademik. Mereka mengajar, meneliti, menulis, dan menjadi wajah intelektual kampus. Namun, di balik seluruh aktivitas itu, ada kelompok lain yang bekerja dalam diam — tenaga kependidikan atau tendik.
Mereka menjaga agar roda pendidikan tetap berputar, sistem administrasi berjalan, data terkelola, dan komunikasi publik tersampaikan. Tanpa mereka, universitas tidak akan bisa berdiri tegak. Sayangnya, peran besar ini masih belum mendapatkan penghargaan yang sepadan.
Secara yuridis, posisi tenaga kependidikan sejatinya sudah diakui negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Artinya, tendik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Namun dalam praktiknya, penghargaan dan perhatian sering kali condong kepada dosen sebagai aktor akademik utama.
Hal ini terjadi karena paradigma lama universitas masih terwariskan hingga kini. Kampus dipandang sebagai ruang eksklusif bagi kaum intelektual. Dosen dianggap pemilik dan penyampai ilmu, sementara tendik diposisikan sebagai pelaksana teknis. Paradigma itu berasal dari sistem universitas klasik yang menempatkan akademisi di menara gading, sedangkan pelaksana administratif hanya sebagai pelayan struktur. Padahal, di era modern, universitas bukan lagi menara gading, melainkan ekosistem pengetahuan yang hidup dan saling bergantung.
Dalam ekosistem pendidikan tinggi, dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan memegang peran yang sama penting. Dosen menanam dan menyebarkan ilmu, mahasiswa menjadi penerima dan pengembangnya, sementara tendik menjaga agar proses belajar, penelitian, dan pengabdian masyarakat berjalan secara berkelanjutan. Dosen mungkin ibarat sumber cahaya, tetapi tendik adalah reflektor yang memastikan cahaya itu menerangi semua sudut ruang kampus. Tanpa mereka, sistem akademik akan terputus dalam ketidakteraturan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memang memberi ruang besar bagi karier dan sertifikasi dosen, tetapi bukan berarti tenaga kependidikan dikesampingkan. Justru, kedua undang-undang tersebut harus dibaca sebagai kesatuan: bahwa sistem pendidikan hanya dapat berjalan baik jika unsur akademik dan non-akademik bekerja seimbang. UU Sisdiknas Pasal 40 bahkan menegaskan bahwa setiap tenaga pendidik dan kependidikan berhak memperoleh pembinaan dan pengembangan profesi. Artinya, tendik juga memiliki hak konstitusional untuk dihargai dan ditingkatkan kapasitasnya.
Kampus yang bijak akan memahami bahwa kemajuan tidak ditentukan oleh dosen semata, melainkan oleh sinergi seluruh unsur di dalamnya. Tendik bukan sekadar penggerak administratif, melainkan pengatur ritme kehidupan kampus. Mereka yang memastikan kegiatan akademik berlangsung tepat waktu, data terlapor dengan akurat, kerja sama berjalan, publikasi rilis, serta suasana kampus kondusif. Setiap detail kecil yang membuat sistem berjalan adalah bentuk kerja intelektual yang tidak kalah bernilai, hanya saja tak selalu terlihat di permukaan.
Sudah saatnya universitas meninggalkan paradigma hierarkis dan beralih ke paradigma ekosistemik. Dosen dan tendik bukan dua lapisan berbeda, melainkan dua sisi dari satu tubuh kelembagaan. Jika dosen adalah otak yang berpikir dan meneliti, maka tendik adalah sistem saraf dan jantung yang memastikan seluruh tubuh berfungsi. Dalam manajemen pendidikan modern, ini disebut academic ecosystem, di mana setiap bagian memiliki tanggung jawab saling menopang. Kampus yang besar bukan karena individunya cemerlang, tetapi karena sistemnya hidup dan harmonis.
Dalam konteks spiritual, Islam mengajarkan bahwa setiap pekerjaan memiliki nilai ibadah jika dilakukan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila mengerjakan sesuatu, ia melakukannya dengan itqan (sempurna dan bersungguh-sungguh).” (HR. al-Bayhaqi). Prinsip itqan ini berlaku untuk semua profesi, baik dosen yang mengajar di ruang kuliah maupun tendik yang mengatur dokumen akreditasi. Keduanya sama-sama menegakkan amanah ilmu, dan keduanya sama-sama dicatat sebagai amal saleh di sisi Allah.
Lebih dari itu, Islam juga menekankan keseimbangan dan keadilan dalam struktur sosial. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.” (QS. An-Nahl: 90). Ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah pondasi setiap sistem, termasuk sistem pendidikan. Tidak adil jika satu pihak terus dipuji, sementara pihak lain yang bekerja dalam diam tidak pernah disebut.
Keadilan dalam konteks kampus bukan sekadar soal gaji atau tunjangan, tapi juga soal pengakuan dan rasa dihargai. Tendik perlu diberi ruang dalam perencanaan strategis, dilibatkan dalam forum pengambilan keputusan, dan diberi kesempatan pengembangan kapasitas setara dengan tenaga akademik. Integrasi seperti ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan bentuk penghargaan terhadap martabat manusia dan profesionalitas kerja. Di sinilah kampus diuji: apakah ia hanya menghargai gelar, atau juga menghargai pengabdian.
![]() |
| Ilustrasi. |
Hubungan antara dosen dan tendik pun harus diubah dari hubungan vertikal menjadi kolaboratif. Selama ini, banyak tendik diposisikan hanya sebagai pelaksana instruksi, padahal mereka memiliki pengalaman lapangan dan pemahaman sistem yang bisa memperkaya kebijakan akademik. Jika kedua peran ini saling menghormati dan saling melengkapi, maka kampus akan menjadi ruang yang hidup — bukan sekadar tempat bekerja, tetapi tempat tumbuh bersama dalam nilai.
Kampus sejatinya adalah ruang pembelajaran, bukan hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi seluruh civitas akademika. Setiap interaksi di dalamnya adalah bentuk pendidikan karakter dan keteladanan. Mahasiswa yang melihat dosen dan tendik saling menghargai akan belajar bahwa ilmu dan keikhlasan adalah dua kekuatan yang tak terpisahkan. Dengan cara ini, universitas menjadi bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga tempat belajar tentang makna kerja dan kemanusiaan.
Dalam perspektif lingkungan sosial, dosen, mahasiswa, dan tendik adalah ekosistem yang saling bergantung seperti unsur alam. Dosen ibarat pohon yang memberikan naungan, mahasiswa seperti tunas yang tumbuh, dan tendik seperti tanah yang menjaga agar semuanya subur. Bila tanahnya keras atau gersang, tunas akan layu, dan pohon tak lagi meneduhkan. Karena itu, menjaga keharmonisan antara ketiganya adalah bentuk nyata dari menjaga keseimbangan kehidupan.
Integrasi profil tendik dalam ekosistem kampus juga berarti menumbuhkan budaya penghargaan baru: budaya yang menilai kontribusi bukan dari seberapa tinggi jabatan, tetapi seberapa dalam pengaruhnya terhadap keberlangsungan sistem. Seorang tendik yang menjaga kejujuran data atau keteraturan sistem sama berharganya dengan dosen yang menulis jurnal internasional, karena keduanya membangun reputasi lembaga dengan caranya masing-masing. Universitas yang bijak akan menilai semua kontribusi sebagai satu kesatuan amal kebaikan.
Pada akhirnya, kemajuan universitas tidak diukur dari berapa banyak profesor yang dimiliki, tetapi seberapa harmonis seluruh manusia di dalamnya bekerja dalam semangat yang sama. Ketika dosen, tendik, dan mahasiswa berkolaborasi dengan hati yang bersih, kampus akan menjadi ekosistem ilmu yang hidup dan menumbuhkan. Itulah hakikat universitas sejati — bukan hanya tempat berbagi pengetahuan, tetapi tempat semua manusia belajar menghargai peran dan keseimbangan dalam semesta ilmu.
“Bukan besarnya jabatan yang meninggikan derajat seseorang, melainkan seberapa besar kesungguhan dan keikhlasan dalam menjaga amanah.”

