Humas Plus, Non Tidak Dalam Bekerja
![]() |
| Ilustrasi pegawai humas |
Pekerjaan Hubungan Masyarakat (Humas) di institusi, terutama kampus, secara hakikat memiliki ruang lingkup yang jauh lebih besar dan elastis dibandingkan unit kerja lain, sebuah fenomena yang layak disebut sebagai "Humas Plus." Ruang lingkup Humas merentang dari internal (membangun moral dan komunikasi antarunit) hingga eksternal (manajemen citra publik, media, dan stakeholder).
Peran ini menempatkan Humas sebagai poros yang wajib memahami dan mengintegrasikan fungsi semua unit lain di kampus, mulai dari akademik, keuangan, hingga teknis, demi menyusun narasi tunggal institusi.
Sebaliknya, staf non-Humas—seperti administrasi, keuangan, atau teknisi—beroperasi dalam ruang lingkup yang sangat ketat dan terbatas, yang didefinisikan secara eksplisit oleh Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) yang spesifik. Mereka unggul dalam spesialisasi yang terukur, seperti pengolahan data atau penyusunan anggaran, tetapi mereka jarang dituntut untuk melihat keterkaitan pekerjaan mereka dengan citra publik atau dinamika stakeholder yang lebih luas.
Perbedaan mendasar dalam definisi ruang lingkup inilah yang memicu kesenjangan tanggung jawab. Ketika terjadi masalah yang berada di "zona abu-abu" atau di luar Tupoksi spesifik, seperti saat dibutuhkan bantuan memfoto atau koordinasi logistik yang mendadak, staf non-Humas memiliki dasar logis untuk menolak dengan alasan "itu bukan tugas saya." Bagi mereka, pekerjaan itu selesai ketika checklist Tupoksi terpenuhi.
![]() |
| Ilustrasi. |
Sebaliknya, Humas tidak memiliki kemewahan untuk menolak. Jika citra publik terancam atau acara terhambat karena tidak ada yang memfoto atau mengurus logistik, kegagalan itu akan memengaruhi seluruh institusi—dan menjadi tanggung jawab Humas untuk turun tangan, melampaui Tupoksi formalnya. Keahlian Humas yang serba bisa dan fleksibel ini justru menjadikannya penyangga (buffer) bagi inefisiensi atau kekakuan unit lain.
Inilah mengapa Humas menunjukkan mentalitas "Plus," yakni selalu siap mengambil alih tugas ad hoc demi kelancaran sistem yang lebih besar.
Fenomena ini menciptakan kondisi di mana Humas memberikan kontribusi fungsional yang tak terukur, sementara unit non-Humas hanya memberikan kontribusi yang terukur dan terbatasi.
Namun, ironisnya, ketidaksesuaian ini berlanjut ke ranah imbalan. Dalam banyak instansi, imbalan (termasuk tunjangan atau remunerasi) yang diberikan kepada staf Humas amat terbatas dan seringkali jauh di bawah unit non-Humas yang memiliki spesialisasi teknis atau administratif dengan risiko finansial yang jelas. Nilai fleksibilitas, kesiapan krisis, dan manajemen reputasi yang merupakan inti dari pekerjaan Humas, sulit untuk diukur dan dihargai secara finansial oleh sistem birokrasi.
Imbalan ini cenderung diberikan berdasarkan kerangka logika yang kaku: semakin spesifik dan teknis tanggung jawabnya, semakin tinggi nilainya. Pekerjaan Humas, yang menuntut kecerdasan interpersonal dan linguistik tingkat tinggi, seringkali tidak dihargai dalam matriks penilaian ini karena dianggap sebagai "keterampilan lunak" yang mudah.
![]() |
| Ilustrasi |
Kesenjangan antara tanggung jawab yang tak terbatas dan imbalan yang terbatas ini seharusnya memicu protes dan penurunan kinerja. Tetapi, yang mengherankan, Humas sering tetap bekerja seperti biasanya atau bahkan lebih giat.
Alasan di balik keteguhan ini adalah integritas eksistensial. Pegawai Humas yang berprinsip memahami bahwa nilai sejati pekerjaan mereka tidak terletak pada imbalan finansial, melainkan pada fungsi moral mereka: menjaga marwah institusi, membangun kepercayaan publik, dan melayani silaturahmi. Mereka dipandu oleh tujuan yang lebih tinggi, yaitu kepuasan dari pengorbanan fungsional yang berhasil.
Mereka menyadari bahwa pekerjaan mereka adalah arena untuk melatih sifat ikhlas dan tawadhu, di mana pengakuan yang sebenarnya datang dari pemenuhan kewajiban, bukan dari tepuk tangan manusia atau angka di slip gaji. Ini adalah kemenangan Etika Fungsional atas Egoisme Fungsional.
Inilah keunikan Humas: mereka mengubah keterbatasan imbalan menjadi ujian karakter. Mereka mengubah beban tanggung jawab yang luas menjadi anugerah untuk menjadi integrator sistem. Dan dalam prosesnya, mereka membuktikan bahwa nilai seorang profesional tidak ditentukan oleh Tupoksi atau besaran gaji, melainkan oleh kemauan mereka untuk bekerja di luar batas yang ditetapkan, demi kepentingan kolektif. "Humas Plus" adalah gelar yang mereka dapatkan melalui tindakan, bukan melalui SK penetapan.


